Beranda | Artikel
Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat
Senin, 16 Desember 2024

Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 16 Desember 2024 M.

Kajian Tentang Imam Tidak Bisa Berdiri Saat Shalat

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah, khususnya tentang permasalahan apabila imam tidak bisa berdiri saat shalat. Jika imam mengimami jamaah dalam keadaan duduk, apakah makmum harus ikut duduk atau tetap berdiri?

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat tentang apakah makmum wajib duduk, tetap berdiri, atau ada ketentuan lain.

Pendapat Pertama: Makmum Harus Duduk

Pendapat pertama menyatakan bahwa makmum harus duduk sebagaimana imamnya duduk, meskipun makmum mampu berdiri. Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا

“Apabila imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian dalam keadaan duduk.”

Hadits ini bersifat umum, tanpa perincian apakah makmum mampu berdiri atau tidak. Oleh karena itu, pendapat ini menganggap bahwa perintah tersebut berlaku untuk semua keadaan, baik makmum mampu berdiri maupun tidak.

Pendapat Kedua: Makmum Tetap Berdiri

Pendapat kedua menyatakan bahwa makmum tetap diwajibkan berdiri jika mereka mampu, meskipun imam shalat dalam keadaan duduk.

Kewajiban berdiri dalam shalat adalah rukun bagi makmum yang mampu, sementara duduknya imam dianggap sebagai keringanan khusus baginya karena udzur.

Pendapat kedua ini berlandaskan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di akhir hayat beliau. Ketika itu, beliau mengimami kaum muslimin dalam keadaan duduk karena sakit yang mengantarkan beliau kepada wafatnya. Beliau tidak mampu berdiri, sehingga shalat dalam keadaan duduk, sedangkan kaum muslimin tetap shalat dalam keadaan berdiri.

Adapun hadits yang disebutkan sebelumnya, yaitu perintah agar makmum shalat dalam keadaan duduk jika imam duduk, itu terjadi pada masa awal Islam. Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut terjadi setelah Perang Uhud, yaitu pada tahun 3 Hijriah. Sementara itu, hadits yang menjelaskan bahwa beliau sakit di akhir hayatnya, lalu shalat dalam keadaan duduk sementara para sahabatnya tetap berdiri, terjadi di akhir perjalanan dakwah beliau. Dengan demikian, hadits yang lebih akhir dianggap menghapus hukum hadits yang lebih awal (nasakh).

Pendapat Ketiga: Memperinci Keadaan

Pendapat ketiga menyatakan bahwa keadaan harus diperinci sebagai berikut:

  1. Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, maka makmum juga harus berdiri, meskipun di tengah-tengah shalat imam tidak mampu berdiri lagi dan melanjutkan dalam keadaan duduk.
  2. Jika imam sejak awal mengimami shalat dalam keadaan duduk, maka para makmum juga harus duduk.

Pendapat ketiga ini mencoba menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Mereka memahami bahwa hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama berlaku untuk keadaan ketika imam sejak awal tidak mampu berdiri, sehingga makmum pun harus duduk. Sedangkan hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat kedua berlaku jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu karena suatu sebab di tengah-tengah tidak mampu berdiri lagi dan melanjutkan dalam keadaan duduk. Dalam situasi ini, makmum tetap shalat dalam keadaan berdiri.

Ini tiga pendapat masyhur dalam permasalahan ini. Sebelum menjelaskan mana pendapat yang lebih kuat, ada faedah yang perlu disampaikan. Apabila seseorang sakit sehingga sulit baginya untuk berdiri, baik sejak awal shalat maupun di pertengahan shalat, sebaiknya ia tidak menjadi imam. Lebih baik menugaskan orang lain untuk menggantikannya sebagai imam.

Mengapa demikian? Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan perbedaan pendapat di antara jamaah. Jika keadaan seperti ini dapat dihindari, itu lebih baik. Bayangkan jika imam shalat dalam keadaan duduk, kemudian terjadi perbedaan pendapat di antara jamaah: ada yang berpendapat harus shalat dalam keadaan duduk, ada yang mengatakan tetap harus berdiri, dan ada yang mengikuti pendapat ketiga, yaitu melihat keadaan imam—apakah duduk sejak awal atau di pertengahan shalat. Jika imam duduk sejak awal, makmum ikut duduk; namun jika imam duduk di pertengahan, makmum tetap berdiri.

Bayangkan jika para jamaah berbeda pendapat seperti itu, bagaimana keadaan shalat berjamaahnya? Ketidakharmonisan dan kurangnya kekompakan bisa terjadi. Hal ini tentu dapat menimbulkan kegaduhan dan mengganggu kekhusyukan shalat. Oleh karena itu, sebaiknya tunjuk imam yang mampu berdiri sehingga seluruh jamaah dapat shalat dalam keadaan berdiri tanpa ada perbedaan keadaan yang menimbulkan perselisihan.

Dari tiga pendapat yang telah disebutkan, menurut saya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah. Beliau berpendapat bahwa perintah untuk shalat dalam keadaan duduk ketika imam duduk merupakan perintah di awal Islam. Namun, setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak lagi menerapkannya.

Pada akhir hayatnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dalam keadaan duduk dan membiarkan para jamaah tetap shalat dalam keadaan berdiri. Pendapat ini lebih kuat karena hadits yang menyebutkan, “Apabila imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian dalam keadaan duduk” merupakan hadits di awal Islam.

Adapun hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami kaum muslimin dalam keadaan duduk, sementara para jamaah tetap berdiri, terjadi pada akhir hayat beliau. Maka, hadits yang lebih akhir ini menasakh (menghapus hukum) hadits yang lebih awal.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54790-imam-tidak-bisa-berdiri-saat-shalat/